Surat dari Babe, untuk Enyak

“Dit, gue abis diputusin Rina.” Cecar murung Joni di suatu sore.
    “Elu??? Diputusin??? Ah, biasa.” Jawab Adit santai.
    “Kok elu gitu? Seneng ye ngelihat gue sedih?”
    “Ah, gak kelihatan sedih-sedih amat kok.”
    “Lihatin muka gue sekarang, betapa kusutnya sohib lu sekarang ini!”
    Adit terlihat enggan, “Gue lagi nyetir motor jek, gak bisa sembarangan nengok ke belakang cuman sekedar lihat tampang lu yang emang udah dari sononya kusut.”
    “Aaaaaaaaaarrrrrrrrggggggghhhhhhhhh !!!!!!!!!!” Jerit Joni. Frustasi.
    Adit cuman geleng-geleng kepala sembari terkekeh geli. Adit dan Joni, dua orang yang sudah bersahabat lama sejak kecil. Kalau diibaratkan kata pepatah mereka itu seperti air dengan embernya, seperti dayung dengan airnya, dan pula seperti air… errrr, seperti air dengan bak tampungnya. Ya, memang gak kreatif. Tapi itulah serunya mereka, saling melengkapi dan berbagi di waktu senang, sedih, susah, maupun galau.
    
“Emangnya kenapa kok bisa diputusin? Elunya kurang menarik? Kurang ganteng? Kurang tajir? Kurang… Adauw!!” Belum sempat Adit mengeluarkan perkiraan-perkiraannya, kepalanya sudah dijitak Joni dari belakang. Seandainya Adit tahu saat ini muka Joni sudah merah padam dengan memperlihatkan pelototan mata super lebar. Sayangnya, matanya Joni terlalu sipit untuk memperlihatkan pelototan garang. Jadi, mau melotot atau enggak hasilnya tetep seperti boneka merem-melek kelilipan.
    “Bukan!! Udah lu nyetir aja! Pengen cepet pulang sampek rumah nih, terus habis itu gue nyusruk ke kasur. Pengen tidur!”
    “Haha.. sabar bung! Rina bukan is the one right kalau gitu. Dia not good juga dalam tampang face. So, let it be. Dia…Elo…End!!” Hibur Adit sok english.
    “Bahasa lo tuh ancur. Hah Diittt, gue jadi pengen nyanyi nih. Eheem…” Joni siap-siap ambil nada. Adit masih dengan kekehannya. Lalu Joni mulai melantunkan lagunya. Suaranya lumayan merdu, “Akulah lelaki dengan jiwa bocah.. Mencoba Dewasa..Mencoba berubah.. Mohon Dampingilah.. Jangan Tinggalkan.. houwooo huooooo…. Tak terbayangkan..Jjika kau pergi.. Kau alasanku untuk dewasaaaaaaa….. Dan aku tak ingin kau terlukaaaaaaaaaaaaaaaaeeeeeemmmm…glek, hoooeeek!”
    “Hei Jon, itu yang terakhir bagian dari lagu? Lu.. Lu kenapa?” Adit menyenggol bahu Joni dengan bahunya dari depan. Dia tampak khawatir. Joni hanya memegangi lehernya.
    “Di..Dit.. Kayaknya aku nelen sesuatu deh tadi waktu nyanyi.”
    “Hah, apaan ??”
    “Serangga. Waktu tadi gue mangap nyanyi serangganya gak sengaja ikutan masuk, terus akhirnya ketelen.” Jawab Joni polos.
    “Hahahahahahahahaha….” Adit ketawa makin ngakak. Padahal kalau saja Joni mau menutup kaca helmnya kejadian itu nggak akan mungkin terjadi. Yah, pamer suara all out terkadang membuat petaka. Tergantung di mana dulu nyanyinya.
 
    Motor Adit semakin cepat melesat. Roda-rodanya berputar, melintasi jalanan yang masih ramai dengan lalu lalang kendaraan. Sore ini menyisakan senja yang sinarnya seperti intan yang tertimpa cahaya, tak begitu menyilaukan tetapi berpendar sangat indah. Sungguh indah.
……………………….
    Dari bilik kamar sederhana terlihat seorang wanita paruh baya sedang duduk di samping pinggiran dipan tempat tidur, sesekali dia membolak-balikkan kertas usang yang berisi tulisan-tulisan tangan yang tak begitu rapi. Berkali-kali bibirnya bergetar, sepertinya dia sedang dirundung rindu yang teramat sangat dengan orang yang dicintainya. Mungkin wanita itu akan menangis jikalau saja suara motor yang berhenti tepat di depan rumahnya tidak mengganggunya.
 
    Putra semata wayangnya datang. Tak mungkin dia perlihatkan air mata di depan anaknya. Diletakkannya kertas usang secara tak sadar pada meja di depannya lalu bergegas dia menuju depan rumah untuk menyambut kedatangan Joni, putra tunggalnya.
    “Assalamu’alaikum.” Salam Joni penuh semangat, lalu dilanjutkan dengan mencium tangan kanan ibunya.
    “Wa’alaikumsalam. Lha itu si Adit kok langsung pulang to le? Ndak seperti biasanya mampir dulu.”
    “Katanya tadi buru-buru mau cepat pulang juga Nyak. Lagian udah malam ini. besok dia main ke sini kok.”
    “Yowes, cepat mandi terus makan sana. Ibuk mau ngupas bawang merah buat digoreng. Besok ada arisan ibu-ibu RT jadi besok bawang gorengnya buat taburan soto. Oh iya, sekalian rumahnya di sapu terutama kamarmu, beberes yang bersih!”
    “Haduh-haduh.. ini juga baru pulang kuliah kok ya langsung disuruh-suruh to Nyak? Kan udah malem, besok saja ya.”
    Ibu Joni langsung berkacak pinggang. Tak ada yang bisa dilakukan Joni kecuali menuruti ibunya, meskipun dalam hatinya masih ogah-ogahan tak ikhlas.
    “Emmm, Nyak….”
    “Opo?”
    “Nggak jadi wes.” Joni mengurungkan niatnya untuk bercerita.
    Enyak. Wanita paruh baya itu dipanggil Joni dengan sebutan Enyak. Bapak Joni orang Betawi asli, sedangkan ibunya orang Jawa tulen. Entah apa yang bisa mempertemukan mereka tapi Joni dengar bapak ibunya bertemu karena dijodohkan. Ya ya ya, zaman sudah berbeda sekarang.
 
Hidup ini indah, masih banyak cerita - panorama - Sumber Internet
Joni memasuki bilik kamarnya dengan berat. Ditubrukkan badannya dengan kasur kapuk yang tak seberapa empuk itu lalu dia memandangi sekeliling kamarnya, lalu dia bangun sebentar dan melihat lantainya, sekilas dia hanya bisa mendecak malas melihat kondisi kamarnya yang memang perlu untuk dibersihkan itu, tapi akhirnya dia hanya tidur-tiduran kembali. Perasaannya masih kacau saat ini. Rina, pacarnya, memutuskan hubungan secara sepihak karena dia mencintai pria lain. Joni yang hanya berstatus mahasiswa kalah begitu saja dengan pria yang sudah berkerja. Tiba-tiba Joni teringat sesuatu lalu terbangun. Matanya tadi sempat menangkap kertas di meja samping dipan. Tanpa basa-basi diraihnya kertas yang sudah usang itu. Dia pikir itu surat warisan atau apa, ternyata itu hanya sebuah surat biasa. Sampul depan kertas tertulis “Dari Rojali untuk Fatimah”.
“Waduh, surat dari babe buat enyak nih.” Dibukanya secara perlahan surat dari almarhum Babenya yang sudah 10 tahun meninggal karena kecelakaan itu. Matanya langsung menangkap pada bait-bait tulisan tangan babenya.

“Fatimah.. Fatimahku tercinta. Apa kabar Neng sekarang? Abang rindu pingiiin banget ketemu sama Neng. Besok tanggal 28 Mei Abang pulang, Neng. Tunggu Abang ya. Neng  jaga Joni baik-baik. Rawat dia sampe gedhe.Kalau dia sudah gedhe jangan sampe dia pacaran mulu. Dia harus jadi laki-laki mapan, sukses, biar kagak kayak Abang yang cuman jadi sopir batu bara di Kalimantan.
Fatimah, Abang sayang sama Neng. Apapun yang terjadi dengan keluarga kite, kite tetep kudu sabar ye. Jangan lupa selalu ada Allah untuk kite. Jangan nangis, tunggu Abang pulang.”
Rojali
   
Joni mengernyitkan dahinya. Kira-kira surat itu ada sejak 10 tahun yang lalu saat Joni berusia 9 tahun. Dia dulu jarang ketemu babenya karena beliau kerja di Kalimantan. Babenya meninggal karena kecelakaan lalu lintas sesaat sebelum babenya naik kapal laut. Sesuatu hal yang tragis memang. Enyaknya masih mencintai babenya, terbukti ketika banyak orang yang mau melamar ibunya, yang meskipun sudah janda, semuanya ditolak dengan baik-baik. Pernah Joni bertanya, enyaknya hanya menjawab, “Suatu saat kamu akan mengerti cinta le. Cinta yang membuatmu ndak akan pernah mau berpaling dengan siapapun. Cinta yang membuatmu menjadi kuat.” Joni kecil hanya manggut-manggut saja. Dia masih terlalu kecil untuk mengerti cinta.
 
Tiba-tiba Joni merasa menjadi orang paling bodoh sedunia. Gara-gara pacaran dia melupakan ibu yang harus dijaganya. Gara-gara terlalu sibuk dengan pacar tanpa sadar dia hanya mengeluh di depan ibunya. Padahal ibunya membanting tulang untuk dapat bertahan hidup. Tapi tak ada yang bisa dilakukan Joni selain hanya menyusahkannya.
Joni bangkit, ingin dia menemui ibunya. Bergegas dia menuju dapur. Tapi tiba-tiba.. Dduuaaakkkk !!!! Lalu kemudian terdengar suara duuuuuuuut! Aahhh, selain kepalanya membentur pintu karena lupa nggak dibuka dulu, saat jatuh pun ternyata dia juga buang gas. Yap, kompleks sudah.
 
Dengan kepala masih kliyengan Joni berjalan terus ke dapur, dilihatnya sang ibu sedang terisak-isak sembari melakukan aktivitasnya. Joni terenyuh. Ibunya sama dengan wanita lainnya, ibunya bukan orang kuat tapi dia juga orang lemah yang bisa saja menjadi rapuh saat dia mengingat semua kenangan tentang suaminya yang sudah meninggal atau saat dia kecewa dengan perbuatan anaknya. Diam-diam dalam hati Joni berjanji bahwa dia tidak akan mengecewakan ibunya lagi. Apapun akan dia lakukan agar ibunya kembali bahagia. 

Dia lupa kenapa dia harus gundah gulana memikirkan mantan pacar yang sudah mengkhianatinya. Dia lupa bagaimana perihnya sakit hati, tapi Joni akan lebih sakit hati lagi kalau melihat ibunya sedih entah karena kecewa terhadap sikap Joni ataupun yang lain.
“Hey Joni, ngapain berdiri diam ndek situ? Ambil sapu lalu cepat bersih-bersihnya!” Seru enyaknya Joni dengan suara bindeng.
 
Tanpa ba bi bu, Joni segera mengambil sapu lantai dan mulai membersihkan ruang-ruang dalam rumahnya. Sang ibu hanya merasa heran, tumbenan Joni melakukan pekerjaan tanpa membantah dahulu. Sang ibu acuh kemudian mengusap air mata yang jatuh secara tiba-tiba, matanya pun mengerjap-ngerjap.  Dilanjutkannya mengiris bawang merah yang memang bisa membuat mata perih lalu menangis itu.
“Aduh, iki brambange kok perih bangeeeeett….’
………………………..





   

0 comments: