Desember 2015
Berat, sungguh berat. Rasanya tidak ada hari yang berat selain hari ini.
Uuugh, akankah aku datang? Surat undangan berwarna hijau toska dengan pita
berwarna merah yang benar-benar membuatku terpaku. Aku tak pernah berjumpa
denganmu lama, tapi kenapa tiba-tiba?
Triiing~
Kubuka e-mail dengan perasaan campur aduk, berharap bukan spam atau
apalah yang tak berarti. “Bahkan surat elektronik pun tak lihat situasi dan
kondisiku”, gerutuku dengan bodohnya. Namun aku salah, ternyata itu adalah
e-mail yang sebenarnya aku nanti-nantikan. Surat balasan dari perusahaan yang aku
lamar.
Ternyata aku diterima kerja dan sekarang aku sudah tak lagi pengangguran.
Entahlah aku harus senang atau sedih dalam bersamaan. Aku tak tahu perasaan macam
apa ini namanya. Aku mau menangis saja tapi di sisi lain aku juga merasa
senang. Aaaaaaarrrrghhhh!!!!
Senin, September
2024
“Bima, pulang kapan?” Todong Ibu
padaku saat video call.
“Nggak tau, Bu. Pas tanggal
merah di akhir pekan aja kayaknya.” Jawabku seenaknya.
“Halah! Kamu nggak kangen Ibu
apa?”
“Yaaa.. kaaangeeen.” Ini
sebenarnya aku jawab dengan jujur karena sungguh kumerasa kangen keluargaku,
tapi aku juga ragu-ragu karena kalau Ibu sudah seperti ini pasti akan ada
apa-apanya.
Ibu memandangku dari balik layar
dengan menghela nafas, lalu diambilnya kalender kecil di sana.
“Nah, ini ada tanggal merah di
hari Senin minggu depan. Hari jum’at ini nanti habis kerja kamu langsung pulang
gih! Awas kalau nggak pulang!” Ibu sudah mulai mengancam.
“Bu, kali ini siapa?” pasrahku.
“Yang penting, kamu pulang
dulu!”
Lemas sudah badanku. Sesi perjodohan
akan kembali lagi terjadi dan ini sudah yang ke tiga kalinya ibu berusaha
mencarikan jodoh untukku. Di usiaku yang sudah 30 ke atas bagi orangtuaku itu
sudah bukan lagi waktunya yang bisa ditunda-tunda tapi kalau bisa ya secepatnya.
Pakai alasan apalagi ya untuk kali ini?
Sudah dua kali aku menolak untuk
pulang dengan alasan-alasan klise seperti tiba-tiba ada tugas kantor dadakan
lah, ada teman kantor yang meninggal lah (yang ini beneran), tapi bukan berarti
aku tak pernah pulang untuk jenguk kedua orangtuaku. Aku tetap pulang tapi
tanpa direncanakan jadi Ibu nggak bisa tiba-tiba ingin membuatku bertemu dengan
calon jodoh pilihan Ibu. Dan hey, bukan berarti aku pria yang tak laku. Ada
beberapa teman perempuan yang tertarik padaku namun tak kuhiraukan. Aku tak
tertarik dengan mereka. Untungnya mereka nggak membuat gosip aneh tentangku.
Aku patut bersyukur.
Kurubuhkan badanku pada sofa
empuk dekat jendela apartemen. Malam hari ini jalanan masih terlihat sangat
ramai. Ibu kota yang tak pernah padam dengan lampu-lampu jalanan dan bangunan
yang gemerlap. Tempat yang jarang sekali lenggang, tentu saja kecuali hari-hari
mudik lebaran, benar-benar idaman bagi manusia-manusia yang haus bersosial.
Namun, di tempat seperti ini aku masih merasa sepi.
Kenapa tak kuambil saja
kesempatan kali ini? Bukankah pilihan orangtua tak pernah salah? Eh, ralat.
Maksudku terkadang pilihan orangtua ada benarnya juga. Tapi aku takut.
Bagaimana jika aku masih belum bisa membuka hati? Apakah bisa? Aku tak ingin
membuat orang lain kecewa.
Lama memandangi luar jendela
membuatku semakin intens berpikir. Entah kenapa hatiku tiba-tiba bergetar.
Pernah merasakan sensasi semacam demam panggung? Nah rasanya mirip seperti itu,
perutku rasanya ada sesuatu, jantungku juga berdegup lebih kencang.
Baiklah. Aku
pulang.
Juli 2008
Tangan mungil itu berusaha
menggapai buku di barisan rak paling atas. Dia berjingkat bahkan sesekali dia melompat namun tak kunjung juga dia
mendapatkan buku yang dia inginkan. Kasihan sekali melihatnya. Kutengok penjaga
warung yang mengkonsep tempatnya sekaligus sebagai tempat persewaan buku dan
komik ini, ternyata si penjaga masih melayani pelanggan lainnya. Lumayan antri
pula. Dengan penuh inisiatif akhirnya aku ambilkan buku yang dia inginkan.
Setelah menerimanya, dengan mata yang berbinar memandangku dia tak
henti-hentinya mengucapkan terimakasih. Aku hanya tersenyum. Dia cantik juga. Seragam
yang dia gunakan menunjukkan bahwa dia satu sekolah denganku. Kenapa aku tak
pernah melihatnya?
Keesokannya aku baru tahu bahwa
ternyata dia adalah anak pindahan dari Surabaya. Aneh, kenapa malah pindah ke
kabupaten. Dan kemudian aku sadari bahwa dia pindah ke kota kecil ini karena
pekerjaan orangtuanya. Dia tak mau berjauhan.
Meskipun berbeda kelas aku kerap bertemu dengannya di warung yang
berkonsep persewaan buku dan komik dengan
nama “Kedai Doraemon” ini. Kedai yang berisi makanan ataupun minuman ringan yang
ramah di kantong pelajar dengan barisan rak-rak buku di bagian belakang. Anak-anak
sering mengucapkan tempat ini dengan nama langsung Kedai Doraemon. Tempat yang
berada di pojokan lengkungan jalan kota dekat alun-alun. Tempat yang strategis
sehingga banyak orang-orang yang sepulang sekolah atau kerja mampir untuk
sekedar melepas penat dengan mencoba menu pentol corah super pedasnya yang
sedang populer di sini atau dengan membaca ataupun menyewa novel maupun komik.
Tentu saja aku lebih suka membaca komik. Dia juga pembaca komik, hanya beda
genre.
Yang tak kumengerti kenapa si pemilik kedai dengan hati yang sukarela
membiarkan orang-orang boleh membaca di tempat. Padahal kalau di tempat
persewaan lain kalau mau membaca ya harus bayar sewa bukunya dulu. Baru
kusadari setelah mengobrol dengan sang pemilik ternyata dia bilang bahwa dia
nggak mau hanya sekedar bisnis tapi mengenalkan konsep suka membaca kepada
pengunjung tetap harus bisa tersalurkan melalui kedainya. Lagipula pengunjung
yang mau baca buku-buku di kedainya juga harus memenuhi syarat darinya yaitu
pengunjung wajib memesan makanan dan minuman yang tersaji di kedai. Pfffft,
cerdas.
“Aku Mitha. Senang bertemu kamu lagi.” Sapanya dengan girang saat bertemu
denganku kembali di Kedai Doraemon. Ah, senyum itu.
“Abimana. Panggil Bima saja.” Jawabku sedikit gugup.
“kamu kelas XI IPA 4 kan? Aku di kelas sampingmu, IPA 5. Aku tahu karena
pernah melihatmu di kelas itu. Senang bisa punya kenalan dari kelas lain. Bima
hari ini pinjam komik?” tanyanya riang.
Selain senyumnya yang menawan ternyata dia cerewet juga. Tipe cewek
ekspresif dan periang. “Ya, sekalian mengembalikan.” Jawabku.
“Kamu lagi baca komik apa memangnya? Oh, Eyeshield 21. Bagus? Aku pikir
kamu lagi suka baca Naruto.” Cerocosnya.
“Ya, aku juga suka Naruto sih...” Kalau bukan karena senyum dan wajahnya
yang menawan rasanya aku mau cepat-cepat pergi saja.“.. tapi sekarang lagi
tertarik sama Eyeshield” lanjutku.
Dia kembali tersenyum.
Sial, aku terpana!
Tak bisa dipungkiri, dari percakapan itu aku bisa bicara banyak
dengannya. Hal yang tak bisa aku lakukan jika aku berada di sekolah. Meski di
sekolah terkadang dia sering menyapaku dengan ciri khas riangnya dia benar-benar
tak ada beda. Dari jauh bahkan pernah dia memanggil namaku dengan sedikit berteriak
sambil melambai-lambaikan tangan. Seperti kena teluh aku juga membalas
lambaiannya. Tak terkira sorak sorai teman-temanku. Wajahku pun memerah. Aku
tersipu.
Berbicara dengannya benar-benar membuatku candu. Hampir setiap pulang
sekolah aku sengaja mampir ke Kedai Doraemon karena aku tahu dia juga pasti
akan ke situ. Aku suka senyumnya. Dan semakin kesini aku semakin menyukai
kepribadiannya dan juga keceriannya.
Sabtu, September
2024
Pagi yang cerah. Sepagi ini
matahari rasanya sudah sangat bersinar lebih terang dibanding pagi di hari-hari
lainnya. Sesampaiku di rumah aku benar-benar disambut oleh kedua orangtuaku.
Meskipun aku anak tunggal yang katanya sering dimanja, penyambutan ini
benar-benar tak seperti biasanya. Apa itu anak manja? Kedua orangtuaku tak
memperlakukanku dengan sangat spesial, mereka mendidikku dengan baik seperti
anak orang lainnya, jika tidak mana boleh aku merantau jauh?
Kedatanganku membuat Bapak dan
Ibu sumringah. Perjodohan ini akan berhasil, katanya. Aku tersenyum getir. Oh
Tuhan, aku nggak mau mengecewakan mereka.
Desember 2015
Badanku terasa remuk setelah
boyongan ke kota besar ini, namun itu tak seberapa karena dari layar akun
facebookku aku melihat senyum ceria dari gadis bernama Mitha sudah tak lagi
menjadi milikku. Hatiku lebih remuk. Aku senang karena aku sudah bukan
pengangguran lagi tapi aku sedih karena tiba-tiba undangan sialan itu datang
untuk seakan-akan mengejekku. Beruntungnya aku tak bisa datang karena aku harus
persiapan untuk memulai pekerjaan baruku di tanggal Mitha menikah.
Setelah lulus sekolah aku dan
Mitha berpisah. Dia melanjutkan studinya di Surabaya sedangkan aku di Bandung.
Kota yang saling berjauhan dan membuat hubunganku dengannya juga semakin
menjauh. Setelah lulus kuliah aku tak pernah tahu lagi kabarnya secara langsung,
meskipun media sosial sudah semakin menjamur tapi aku sudah tak terpaut lagi
dengannya.
Semenjak dia kembali ke Surabaya saat libur kuliah aku selalu
menyempatkan diri untuk ke Kedai Doraemon. Dari balik rak di kedai ini aku bisa
kembali melihatnya tersenyum dengan mata berbinarnya itu. Senyum yang indah
yang bisa kurasakan kehadirannya meskipun hanya dari ingatan. Sayangnya, dia
tak kembali ke kota kecil ini.
Sabtu. September
2024
Siang ini aku memutuskan untuk
ke Kedai Doraemon. Tempat yang sama dengan suasana yang sudah sangat berbeda
meskipun konsepnya masih sama. Tempat ini sudah semakin estetis mengikuti
perkembangan zaman. Menunya semakin beragam, sekarang tak hanya menonjolkan
pentol corah saja, namun makanan kekinian berbau korea ataupun jepang.
Minumannya juga semakin banyak jenisnya dengan warna yang semakin beragam.
Rak-rak buku ditata dengan lebih rapi. Berbagai genre buku berupa novel maupun
komik masih bertengger di sana. Meskipun gempuran era e-book ataupun komik
digital lainnya ternyata peminat pembaca buku bersampul masih banyak juga. Aku tersenyum
senang.
Malam ini nanti aku akan bertemu
dengan calon jodohku. Bapak dan Ibu sudah mewanti-wantiku untuk bersikap baik
saat bertemu dengannya nanti. Ya Ampun, aku sudah bukan anak kecil yang bisa
didekte begini.
“Eh Mas Bima, lama nggak jumpa
Mas!” Sapa sang pemilik kedai.
Aku mengangguk, “Tambah uapiiik lho tempate sekarang. Estetik puool.” Pujiku tulus.
“Hehe iya Mas, Alhamdulillah.
Meski kehantam korona kedai ini masih bisa bertahan. Sendirian aja to atau sudah ada janjian?”
“Ini lagi sendirian aku, hee..”
Entahlah harus berbasa-basi apa lagi.
“Loalah tak pikir ada janjian.
Yasudah Mas, silakan pesan atau lihat-lihat komik dulu. Saya tak jemput saudara
dulu yaaa..” pamitnya.
Aku hanya mengangguk dan
melambaikan tangan tanda silakan. Sambil berjalan-jalan memandangi koleksi buku
aku kembali mengenang. Berkali-kali aku meyakinkan diri untuk berdamai dengan
perasaan. Bahwa hidup itu selalu dinamis bukan statis. Tapi kenapa sulit? Sudah
jelas dia sudah jadi milik orang lain. Sudah jelas aku harus melanjutkan hidup
dengan warna baru kembali. Berkali-kali aku meyakinkan diri. Berkali-kali juga
aku patah hati. Mengapa di luar sana ada orang yang begitu mudahnya move on namun disisi lain ada orang yang
masih terjebak di masa lalu dengan segala kenangannya?
Kupejamkan mata sembari menarik
nafas panjang. Kuambil buku sekenanya dan langsung menuju ke kasir. Aku tak
bisa di sini lama-lama. Aku tak bisa.
Sesaat setelah membayar tagihan
sewa buku, sang pemilik kedai kembali masuk. Aku mengernyitkan dahi. Kenapa
cepat sekali jemputnya? Belum sempat aku melontarkan pertanyaan kepadanya, di
belakang sang pemilik ada seorang perempuan yang juga ikut masuk ke kedai. Wajah
yang menawan dengan raut muka yang aku kenal.
“Mitha!” teriakku.
Sang pemilik dan Mitha pun
terperanjat. Aku tak menyangka aku bisa kembali bertemu dengan Mitha setelah
sekian lama. Kami sama-sama kaget. Mitha tersenyum. Sungguh jika saja dia belum
bersuami akan kupeluk tubuh mungilnya.
“Loh iya ya Mas Bima kan
temennya Mitha to dulu?” kata sang
pemilik.
Kami terdiam. Rasa kaget ini
membuat kami tak mengerti harus bagaimana.
“Suamimu mana Mit?” tanyaku
memberanikan diri.
Mitha hanya terdiam, raut
wajahnya berubah. “Suaminya sudah meninggal Mas. Tiga hari setelah menikah
suaminya mengalami kecelakaan. Miris tenan
nasibnya. Oh ya, Mitha ini adik sepupuku Mas Bim. Anak dari Bulekku. Makanya
dulu dia sering nongkrongnya di sini. Sering baca komik gratis dia.”
Mitha masih terdiam.
“Ini tadi katanya mau tak jemput
ternyata sudah naik ojol untuk ke sini makanya cepat. Dia juga siap-siap mau
ada acara untuk nanti malam katanya.”
“Nanti....malam..?” tanyaku
ragu.
“Iya Mas, dia mau dikenalin sama
anak temannya Ibuku. Anaknya Pak Ganjar.”
Deg.
“Pak Ganjar Prayitno?” tanyaku
memastikan.
“Iya Mas, kok tahu?”
Sungguh jika dulu aku bingung
mendefinisikan perasaan sedih dan berbahagia yang bersamaan, sekarang aku juga
bingung mendefinisikan rasa kaget, senang, bahagia yang membuncah ruah namun
aku harus terlihat wajar di depan orang-orang ini. Di depan sang pemilik kedai,
di depan Mitha, di depan kasir, bahkan juga pengunjung lainnya. Sungguh, Tuhan
lebih tahu isi hatiku. Tuhan juga lebih tahu apa yang terbaik bagiku.
Kegundahan dan kegalauanku seperti terbayar tuntas. Aku jadi tahu kenapa Ibu
tak pernah memberitahuku siapa calon yang akan dijodohkan kepadaku. Itu semua
karena Ibu takut aku tersinggung.
Senyum itu kembali menjadi
milikku. Benar kata orang kalau jodoh memang tak akan kemana.
Orang yang ditakdirkan bersama tentu akan tetap bersama bagaimanapun jalannya.
Dari kedai buku ini aku kembali bertemu cahayaku. Cahaya yang kembali
menghangatkan hatiku. Aku tersenyum lebar. Perasaan hangat macam apa ini? Aku
suka sekali.
End.
By UmistiQfar
0 comments:
Posting Komentar